WelcomE To My BLOOggE

Selamat datang di Blog Cia_
Cia masih pemula, jadi tolong dimaklumi yah_
Makasih telah berkunjung_
Selamat berkunjung lagi lain waktu \^o^/
Selamat Membaca
I Love Itachi_Kun

Minggu, 30 Oktober 2011

SayaP Bidadari Dari SURGA



...SAYAP BIDADARI DARI SURGA...

          Kenangan yang tersurat hanyalah lembah mati...
          Di padang tanpa kata yang mati...
          Apa kau pernah melihat bidadari mati?
          Dan sayap bidadari dari surga itu berserakan di bumi?
                                                                                                                            
         
          “Sani... Apa kau ingat besok hari apa?”, tanya Hika kepada seseorang dengan tampang kosong di sampingnya.
          “Hari Minggu... “, jawab orang yang ditanya masih menatap lurus ke depan.
          Tak ada lagi percakapan yang terdengar yang mengiringi langkah mereka. Hanya deru nafas yang saling beradu lembut. Tak ada yang tahu, sudah berapa lama mereka bersama. Lima tahun lebih mereka menjalin hubungan, yang dimulai dari pertemanan kemudian berlanjut menjadi sepasang kekasih. Mulai dari SMP sampai SMA sekarang, tak pernah ada masalah yang nampak dari keduanya. Tapi lama-kelamaan, hubungan yang mereka jalin tiba dititik kejenuhan umat manusia.
          “Besok.. hari ke 2.000 kita berkenalan... Kau tak ingat?”, Hika angkat bicara.
          “Aku ingat, sangat ingat...”, ucap Sani masih menatap lurus.
          Sekilas, mereka benar-benar tak mirip sepasang kekasih. Hanya jika sedikit diperhatikan lebih teliti, jari-jari mereka masih menggenggam saling menjaga satu sama lainnya. Tak ada yang istimewa, bahkan tak ada satu pun kata yang terlontar.
          “Aku pulang dulu. Jaga dirimu... “, ucap Sani kemudian berbalik dan menghilang dari bayangan mata Hika. Hika hanya bisa menatap dingin. Tangannya yang tadinya hangat karena sentuhan lembut tangan Sani menbeku.
          “Kau berubah... Sani...”, isak Hika pelan, menghapus bulir-bulir bening yang berasal dari matanya. Di dekap tangannya sendiri di depan dadanya. Tak bergerak..., meski hujan deras tengah mengguyurnya... Semalaman...
                                                                                                                            
          “Karin, tolong ambilkan bukuku di atas meja dong?”, ucap Sani sambil menonton sinetron kesukaannya.
          “Karin?”, desah Hika pelan. Wajahnya sempat berubah beberapa saat, poni rambutnya diturunkan menutupi wajahnya yang penuh kesedihan. Setelah mengatur suasana hatinya ia memberikan buku yang diminta Sani. Sani masih cuek bebek. Apakah laki-laki yang ada di hadapannya itu tak punya perasaan? Tak punya kah?
          Hika kemudian pergi ke ruang baca. Rencananya untuk berkunjung ke rumah Sani disambut jelek oleh kelakuan Sani yang luar biasa judes. Hika duduk dan mulai membuka buku-buku yang tertata rapi di sana. Tak perduli buku apa saja, asal dia bisa membaca dan menghilangkan penatnya. Diambilnya sebuah buku berwarna putih. Hika mulai membacanya.., selembar demi selembar...
          “Ini Sani, ini Hika...”, ucap Hika tersenyum kecil sambil menunjuk gambar-gambar kecil di sudut salah satu kertas kusam itu. Gambar mereka waktu kelas satu SMP dulu. Ternyata Sani masih menyimpannya. Hika melanjutkan membaca ke halaman berikutnya. Tatapan matanya kini sayu, senyumannya tadi hilang lagi disapu air mata.
                                                                                                                            
          Oh Tuhan,
          Apakah aku harus mengakhiri hubungan dengannya? Aku merasa jenuh, merasa bosan, tak ada perubahan dengan ini... Ada orang lain lagi...
          Aku tak sanggup memutuskan dia. Apa yang harus aku lakukan?
                                                                                                                            
          Begitulah isi lembar ke dua terakhir dari buku itu. Hika tak sanggup lagi membaca. Ia terperangah membaca kata “Ada orang lain lagi”.
          Ia benar-benar merasa tak pantas dan memaksa menjadi kekasih Sani. Ia berfikir, Sani hanya mengasihani dirinya. Semua kenangan mereka selama ini adalah palsu! Tidak ada satu pun yang tulus. Ia pergi menghampiri Sani dan meminta diantarkan pulang.
          “Because I’m Stupid”, terdengar nada pesan singkat dari ponsel Sani.
                                                                                                                                       Sani, aku menunggumu detik ini juga. Ada sesuatu yang ingin aku katakan. Temui aku di Gedung Pencakar Langit sekarang. Waktumu hanya sampai jam 12.00 malam ini. Bye!
                                                                                                                            
          “Hika...”, Sani panik. Diambilnya jaket dan topi, tak lupa payung karena malam ini hujan mengguyur ibu kota dengan cukup deras. 11: 56 Sani sampai di sana.
          “Hika! Kau mau apa malam-malam seperti ini? Di- di tempat seperti ini?”, ucap Sani kebingungan.
          “A-aku, ingin menyerahkan ini... “, ucap Hika terbata-bata. Suhu tubuhnya yang terguyur hujan seharian benar-benar tidak mendukung.
          “Ini...”, ucap Sani heran.
          “I-iya, rencananya besok aku akan memberikan tiket ini untukmu! A-aku sudah berusaha sebaik-baiknya, menyisihkan uang jajanku untuk ini...”, ucap Hika pelan.
          “Hika... “, tatap Sani tak percaya. Tiket permainan di Disney Land. Tempat yang mereka berdua ingin kunjungi bersama.
          Sani teringat janji mereka dulu...
                                                                                                                            
          “Hika-Hika! Kalau nanti kita besar, aku ingin mengajakmu ke taman bermain terbesar di dunia”, ucap Sani kecil.
          “Benarkah itu Sani?”, jawab manis Hikas kecil.
          “Tentu saja benar! Aku janji! Kita, akan pergi berdua!”, ucap Sani sambil mengulurkan jari kelingkingnya.
          “Janji ya! Kita bersama!”, Hika kecil tersenyum manis.
                                                                                                                            
          “Akkkhhh!!!!!!”, lamunan Sani buyar. Saat di lihat Hika sudah loncat dari gedung itu.
          “HIKAAAA!!!!!!!”, teriak Sani tak perduli guntur dan petir yang menyambar di langit. Badannya basah kuyup. Matanya tak kuat menahan perih. Dibacanya surat terakhir Hika...
                                                                                                                            
          Sani... Sani... Jantungku berdebar tiap ku ingat padamu...
          Sani, aku membaca buku harianmu.. Kau pasti menginginkan aku hilang dari hidupmu? Mungkin saat kau membaca surat ini aku sudah tak ada lagi...
          Janji kita, pergilah bersama orang lain. Bersenang-senanglah..
          Aku pergi, selamat tinggal ^-^
                                                                                                                            
          “Hika! Apa maksudmu? Kenapa, kenapa kau tidak mau menanyakannya padaku dulu? Maksudku aku bosan membebanimu! Aku ini penyakitan, sedikit lagi akan mati karena kanker! Orang lain, orang lain yang aku maksud adalah orang yang bisa menggantikan posisiku kelak! Hika!!”, teriak Sani sekali lagi. Terlambat... siapa lagi yang mau mendengarnya... Ah ternyata masih ada.. Hika! Bidadari dengan sayap putih...
          “Hika...”, ucap Sani
          “Sani, ikutlah bersamaku...”, ucap Hika merentangkan sayap-sayapnya.
          “Iya Hika...”, ucap Sani...
          Mereka berdua pun hilang untuk selama-lamanya. Hanya ditemukan jasad seorang wanita yang bunuh diri dan jasad seorang pria yang berlumuran darah karena penyakit kanker yang ia idap.
          Keduanya mati sebagai pasangan yang bodoh!!!


         
          Kenapa tidak ada yang bertanya apa halaman terakhir dari buku harian Sani?
                                                                                                                            
          Oh Tuhanku,
          Aku bersyukur, Engkau telah member sedikit waktu untukku... Bersama dirinya... Karena dia menjadi udara di setiap aku bernafas, menjadi jantung disetiap aliran darahku..., menjadi kan aku manusia yang mendekati sempurna...
          Dia Bidadari Dari Surga... Dengan Sayap Putih Yang Ada Untukku...
                                                                                                                            
          Kisah manusia, kisah yang sempit dengan diliputi kegelisahan... Tapi apa tak ada yang sadar? Bidadari kadang menjatuhkan sayap-sayapnya dari surga... melihat tingkah kita? ^-^

          By_ Cia 
                     


         
         
                                                                  

         
           

Jumat, 23 September 2011

Kisahku Dan Egoku....

            “Kakak andaikan kau masih ada, ingin aku katakan bahwa kini aku dan egoku telah musnah selamanya!

Ayo Fahma! Cepat kakak buru-buru nih!”, Kata kakak berisik. “Iya, iya. Sebentar lagi juga selesai kok!”, kataku sambil meneguk segelas susu coklat kesukaanku. Aku segera berlari menjumpai kakak yang telah masuk ke dalam mobil duluan. Kami segera berangkat ke sekolah.
“Kak Fahmi, ada apa sih? Kok sepertinya buru-buru banget!”, tanyaku penasaran. “Kan hari ini kakak ada tugas piket. Kamu lupa ya?”, jawabnya ngambek. ”Wah, kakakku ini, rajin sekali ya!”, kataku menguji. “Jelas dong, kakakmu ini kan ketua kelas!”, balasnya meledek. “Iya, iya hebat deh!”, balasku lagi.
Yah begitulah kami setiap harinya, selalu ceria dan tertawa. Tapi terkadang karena kesombongannya itu aku jadi membenci, kakak laki-lakiku satu-satunya! Ia selalu saja lebih baik dibandingkan aku! Jujur sepertinya aku iri padanya. Selalu menjadi ketua kelas dan aku hanya menjadi wakilnya saja, selalu menjadi juara kelas dan aku selalu dibawahnya, selalu digemari, menjadi siswa teladan, dan bahkan mendapat beasiswa karena segudang prestasinya di sekolah.
Memang kami berdua adalah anak kembar, hanya berbeda klamin. Namun aku selalu terbelakangi dan aku tidak suka itu! Setibanya di sekolah…
“Hai Fahmi!” kata teman-teman cewekku di sekolah. “Hai!”, selalu begitu jawab kakak singkat. Kakakku terkesan cute, and smart, jika di sekolah. Entah mengapa itu sangat bertolak belakang dengan sifatnya yang hangat dan lembut jika di rumah. Dan itu membuat para cewek di sekolahku terpesona. Lagi-lagi deh, ini yang membuat aku merasa nggak pantas menjadi saudari kembarnya!
Nah saat di kelas, itulah saat yang paling aku senangi. Karena saat itu aku bebas bercengkrama dengan kakak. Pasti tidak ada yang berani mendekati kakak yang sedang belajar selain aku. Karena itu, aku senang sekali mengganggunya. Namun hari itu tidak seperti biasanya, kakak malah menyuruhku untuk membeli spidol di kantin.
Sebenarnya spidol di kelas kami sudah habis, namun karena aku malas aku bilang saja kalau spidolnya masih ada. Kakak sih percaya-percaya saja padaku, adik kesayangannya. Saat bel masuk dibunyikan, kami memulai pelajaran. Oh tidak apa yang terjadi...!
“Ya, anak-anak! Kita akan segera memulai pelajaran kita hari ini. Hei dimana spidol kelas kalian?” Tanya guru kami heran. “Bukannya ada disitu Bu?”, jawab kakak.   “Ya memang ada, tetapi sudah habis isinya! Kamu mau mengerjai ibu ya?” jawab guru itu kasar. “Tidak Bu, maafkan saya. Saya pikir spidol itu masih ada isinya!”, kata kakak yang kini tertunduk malu. “Ya sudah, sekarang kamu beli spidol baru untuk ibu! Cepat!”, kata guru itu dengan muka yang sangat sangar.
Terpaksa kakak yang duduk di sebelahku, harus bergegas membeli spidol di kantin. Sebelum keluar kakak masih sempat ditertawai oleh teman-teman. Dan setelah kembali, kakak mendapat sedikit ceramah dari guru kami dan diantaranya bahwa  kakak tidak pantas menjadi ketua kelas! Oh itu sangat menyakitkan bagiku terlebih kakak! Aku tertunduk malu sambil sedikit menahan tangis.
Sampai jam istirahat, kakak belum mau bicara padaku. Aku sendiri merasa sangat bersalah, tapi aku enggan untuk mengucapkan kata “maaf” padanya. Aku hanya bisa melihat kakak yang bersedih dan terus merenung. Aku telah merusak kepercayaan guru kepada kakakku sendiri dan terlebih aku telah merusak kepercayaan kakak kepadaku. Aku sungguh menyesal, belum pernah sebelumnya kakak dipermalukan di depan guru dan teman-teman hanya karena kebodohanku. Dilubuk hatiku yang terdalam aku ingin meminta maaf kepada kakak, namun disisi hatiku yang lain ada rasa malu untuk mengatakan maaf. Apa mungkin ini perasaan egoku ya? Aku merasa waktu masih terus bergulir sampai masa mendatang. Sekarang aku belum siap! Belum siap!, rintih batinku.
Bahkan sampai pulang, aku masih tetap bertahan dengan egoku itu. Aku tidak mempedulikan pendapat teman-temanku lagi. Terserah mereka mau berkata apa padaku. Meski aku sangat menyadari bahwa sebenarnya aku yang salah. Yang aku tahu hanya satu, aku tidak akan minta maaf terlebih dahulu! Egokah aku?
Akhirnya hari ini, aku memutuskan untuk pulang sendirian tanpa menunggu kakak yang sedang sibuk mengurus sesuatu di dalam kelas. Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak dekat rumahku. Perutku terasa sangat sakit, karena naik kendaraan umum yang ngebut-ngebutan.
Eh, tunggu sebentar. Sepertinya ada seseorang yang mengikutiku. Setelah aku coba beberapa kali menengok ke belakang, tapi tidak ada siapa-siapa! Pelan tapi pasti aku mempercepat langkahku, makin cepat dan kini aku sudah berlari. Tapi orang itu masih mengikutiku. Aku menengok ke depan dan aku melihat rumahku! Tepat di depan sana melewati jalan raya itu. Sedikit lagi, tapi saat aku menyeberang jalan itu...
Akhhhh!!! Sebuah mobil melaju cepat, tepat di depanku. Aku panik, bingung, dan histeris sampai-sampai aku tak sanggup gerak. Aku sudah pasrah! Aku menyerah...
Tapi pada saat yang bersamaan, ada sebuah sosok yang sangat aku kenali, mendorongku dan membiarkan dirinya tertabrak mobil itu. Aku terlontar ke samping jalan, setelah itu aku sudah tidak tahu apa yang terjadi lagi. “Kakak!” Seruku dan aku tahu aku akan terus menangisinya.
Saat aku sadar, semua orang sudah menangis histeris. Aku terkaget dan menangis tiada henti. Sekali lagi aku tidak sadarkan diri. Kakak telah mengorbankan nyawa untukku, demi menyelamatkanku! Bahkan sampai Ia meninggal, aku belum sempat meminta maaf kepadanya! Aku sungguh menyesalinya! Hingga kini 15 tahun telah berlalu saat aku berada di samping makamnya...
“Tidak terasa sudah 15 tahun ya, Kak! Andaikan Kakak masih hidup, aku ingin mengatakan bahwa egoku telah pergi. Kini aku menjadi seorang dokter, yang bekerja untuk kesehatan banyak orang Kak! Kak, apakah Kakak sudah memaafkanku ya? Aku ingin minta maaf nih! Meski telat aku minta maaf lagi ya!” Beberapa saat berlalu dan aku terus menangis disana!
“Emm, Kak aku pergi dulu untuk bekerja lagi ya! Kapan-kapan aku mampir lagi kok! Janji deh, suatu saat pasti aku akan bersama-sama kak terus selamanya. Sampai bertemu disana ya Kak!” kataku sembari mengahapus air mata dan meninggalkan sebuah kuburan dari orang yang benar-benar aku sayangi sedari dulu...
Saat aku berjalan pergi, sebuah mobil menabrakku. Kali ini tak ada yang menyelamatkanku lagi. Saat aku membuka mata, aku melihat sosok yang sudah lama aku damba. Ia menagih janjiku dan kini, ia mengajakku untuk pergi bersamanya. Aku bersama Kak Fahmi. Selamanya bersama!